Selasa, 17 Januari 2017

Empat Perempuan Dalam Gereja 01 - Imported


Image result for beautiful pretty wedding dress


Aku duduk dengan tenang di tempat dudukku.
Paling belakang sebelah kiri.
Entah karena temanku yang duluan tiba di gereja memang punya kebiasaan duduk di paling belakang (yang juga adalah tempat fav-ku kalo di gereja katolik), atau aku juga memang punya kesenangan berada di paling belakang sebagai ungkapan psikologisku yang ingin selalu mengontrol orang2, aku tidak tau.
Tapi itu tidak penting juga kan? ;)

Misa berjalan seperti biasa.
Hari sabtu tidak pernah dipadati orang.
Dan untuk pertama kalinya aku sungguh2 memperhatikan keadaan dalam gereja baru yang sampai hari ini belum juga selesai dibangun. Yup, gereja baru yang menghabiskan luar biasa banyaknya uang itu, memang sungguh2 indah.

Aku sibuk memperhatikan ukiran2 di langit2 gereja, patung2 malaikat kecil (yang sampe hari ini lebih merupakan hasil seni saja menurutku daripada proyeksi malaikat di sorga dengan segala kekuatannya. yeah, cupid never never never pantas disebut malaikat kan? ),
juga memperhatikan beberapa patung malaikat di depanku, yang agak berbeda image-nya, kali ini lebih mendekati malaikat asli, dengan pose2 yang menyenangkan hati untuk dilihat, haha.
Bahkan ada satu pose yang bikin aku ketawa kecil, karena mengingat itu adalah salah satu pose fav malaikat yang sering nongkrong dekat rumahku.
Juga, sambil sibuk memperhatikan ukiran2 dan patung2 itu, pikiranku juga sibuk kembali ke masa lalu.
Ke saat di mana adikku pertama kali mata rohaninya dibuka oleh Tuhan.
Aku pernah bertanya, apakah ada malaikat2 di gereja katolik sementara misa?
Ah, aku tau hari ini bahwa itu adalah pertanyaan yang sangat bodoh.
Tapi waktu itu aku sungguh2 membenci gereja katolik, dan menganggap gereja itu penuh dengan orang2 munafik (yang baru ku sadari di kemudian hari bahwa orang2 seperti itu berada di gereja manapun juga di seluruh muka bumi).
Dan ya, jawabnya, ada, dan banyak.

Renunganku, kalo terlalu vulgar disebut sebagai khayalanku, tiba2 terhenti ketika melihat seseorang berjalan ke belakang dari deretan kursi paling depan.
Perempuan seusia nyokapku, dengan dandanan elit seperti dandanan nyokapku dulu kalo ke gereja, rambut dicat coklat dan dibentuk keriwil2 ala kartun cinderella.

Dalam hitungan detik, darahku mulai mendidih.

Kau tau, aku adalah tipe manusia yang paling jujur dengan ekspresiku.
Dan aku jarang bisa menyembunyikan ekspresi jujurku di manapun juga dan kepada siapapun juga.
Mungkin bukan aku tidak mampu menyembunyikan ekspresi jujurku, aku hanya enggan melakukannya.
Lagian untuk apa?
Hidup terlalu sulit, ga perlu lebih dipersulit dengan menciptakan ekspresi2 tidak jujur itu.
Walau kadang2 aku masi melakukannya juga kalo dibutuhkan :D

Perempuan itu adalah saudara dekat nyokap.
Kami dulu sangat dekat.
Sangat sangat dekat.
Sampai suatu hari dia tidak bisa menyelesaikan sebuah persoalan di kantornya waktu dia sekantor dengan nyokap, lalu sebagai way out, dia memaksa nyokap menandatangani pernyataan palsu yang sama sekali tidak pantas untuk diberikan ke nyokap.
Nyokap menolaknya habis2an, meski untuk itu hubungan keluarga yang sangat dekat akhirnya putus.
And we never know each other again.

Mereka sangat aktif di gereja.
Perempuan itu, dan mamanya.

Dan mereka adalah salah satu dari sekian banyak sebab mengapa aku tidak ingin lagi menginjakkan kaki ke gereja katolik.
Juga sebab mengapa aku tidak ingin lagi berkhotbah di gereja.
Juga sebab mengapa aku tidak mau terlibat dalam kepemimpinan model bagaimanapun, dan menolak semua bentuk pelayanan.
Juga sebab mengapa aku lari ke bali, dan adikku lari ke sulawesi tengah.
Juga sebab mengapa aku sampai menangis seperti anak kecil di hadapan bonyok, tidak mau pulang lagi ke manado, dan akhirnya harus pulang karena diseret bokap sampai ke airport.

Mereka menyakiti kami, dan kalian tidak akan bisa membayangkan bagaimana rasanya sakit itu.

Dan hari ini, aku duduk di bagian paling belakang gereja, sebenarnya bahkan tidak berani mengangkat muka.
Aku sudah menundukkan wajahku sejak beberapa langkah sebelum memasuki halaman gereja.
Dan terus berdoa dalam hati, aku tidak mau dikenal... aku tidak mau dikenal.
Meskipun aku tau selama aku tidak melakukan operasi apapun di wajahku, tetap saja aku akan dikenal orang.
Doa yang sia2 sebenernya.
Doa yang tidak mengharapkan jawaban, hanya mengharapkan bahwa Tuhan mengerti dan mengasihani aku, sesuatu yang tidak perlu diminta karena Tuhan memang mengerti dan mengasihani aku.

Apakah aku pernah bilang bahwa semua kebanggaanku sudah dihancurkan Tuhan?
Apakah aku sudah pernah ngasi tau bahwa semua hal yang baik yang dilihat orang pada diriku sudah dihancurkan Tuhan? Semua reputasi itu sudah hilang seperti uap air..
Dan aku hanya mampu menghadap Tuhan seperti orang berdosa yang mengoyakkan jubahnya dan tidak berani memandang ke atas, hanya mampu berkata Tuhan kasihanilah aku.

Aku memandang perempuan itu dari jauh.
Aku masi marah.
Aku masi membenci dia.
Aku masi ingin meludahi wajahnya.
Namun lalu aku tertunduk.
Melihat diriku sendiri.
Di gereja ini, di hadapan Tuhan ini,
kita sama2 bercela.
Kita sama2 berbuat dosa.
Kita sama2 melakukan berbagai kesalahan.
Kita sama2 memuakkan dan menjijikkan.
Kita mungkin hanya melakukan dosa yang berbeda...

Dan kita dibasuh oleh darah yang sama.
Kita dibenarkan oleh karena pengorbanan yang sama.
Tuhan tidak lebih mencintaiku daripada Dia mencintaimu.
And it feels so hurt.
Mungkin karena manusia terbiasa diyakinkan bahwa Tuhan mencintai kita karena kita melakukan semua yang baik, dan bukan kita dicintai karena Dia baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar